Rubrik Power of Mind Radar Bali : Flexing di Media Sosial, Penyebab dan Cara Menghindarinya
Edisi Minggu, 22 Juni 2025
Ditulis Oleh :
Santy Sastra (@santysastra)
Putu Suprapti Santy Sastra, SH., CHt., CI
Indonesia's Mindset Motivator
FLEXING merupakan istilah slang yang menggambarkan perilaku kemewahan, prestasi atau hubungan yang bahagia di media sosial. Tujuannya untuk mendapatkan pujian, pengakuan atau membuat orang lain iri dengan pencapaian kita.
Namun, kenyataannya bisa jauh berbeda dari yang ditampilkan media sosial. Perilaku ini hanya menjadi cara untuk menciptakan citra palsu tentang diri sendiri.
Hal yang mendorong seseorang untuk melakukan perilaku ini yaitu mereka dengan perasaan rendah diri mungkin merasa perlu flexing untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain.
Mereka berharap bahwa dengan menunjukkan kesuksesan dan kebahagiaan di media sosial bisa lebih mendapat penghargaan.
Melihat orang-orang yang sukses di media sosial juga bisa memicu tekanan sosial. Alhasil, orang yang merasa tertekan merasa harus menyamai kesuksesan tersebut dengan cara flexing.
Ada dorongan besar untuk menampilkan citra yang tidak selalu mencerminkan kenyataan sebenarnya.
Dorongan flexing juga bisa muncul akibat sering membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.
Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka setidaknya sebanding atau lebih baik daripada yang lain.
Orang-orang yang memiliki dukungan finansial yang kuat mungkin merasa mudah untuk melakukan flexing. Sebab, mereka memiliki kemampuan yang cukup untuk mencapai gaya hidup yang diinginkan sehingga bisa ditunjukkan di media sosial.
Salah satu pendorong utama perilaku flexing adalah kebutuhan manusia akan validasi. Dalam psikologi, validasi mengacu pada pengakuan dan penerimaan atas emosi, pikiran, dan pengalaman seseorang. Di media sosial, flexing menjadi cara untuk mencari validasi eksternal melalui pujian, likes, komentar positif, dan pengakuan dari orang lain.
Dengan memamerkan pencapaian materi atau gaya hidup tertentu, individu berharap mendapatkan pengakuan yang dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri mereka. Validasi ini, meskipun bersifat eksternal, dapat memberikan rasa nyaman dan diterima dalam komunitas online.
Flexing juga seringkali bertujuan untuk meningkatkan status sosial. Dalam masyarakat, status sosial seringkali dikaitkan dengan kekayaan, kekuasaan, dan gaya hidup yang dianggap ideal. Melalui flexing, individu berusaha untuk memproyeksikan citra diri sebagai orang yang sukses, berkelas, dan diinginkan. Pameran barang mewah, liburan eksklusif, atau pencapaian tertentu diharapkan dapat meningkatkan persepsi orang lain terhadap status sosial mereka.
Dalam konteks media sosial, status sosial online ini dapat diterjemahkan menjadi pengaruh yang lebih besar, jaringan yang lebih luas, dan peluang sosial atau ekonomi yang lebih banyak.
Meskipun flexing dapat dipahami sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan psikologis atau mencapai tujuan sosial tertentu, penting untuk mengakui sisi negatifnya. Perilaku flexing yang berlebihan dan tidak autentik dapat menimbulkan berbagai masalah.