Rubrik Power of Mind Radar Bali : Ketika Ayah 'Tak Hadir' di Kehidupan Anak

Rubrik Power of Mind Radar Bali : Ketika Ayah 'Tak Hadir' di Kehidupan Anak


Rubrik Power of Mind Radar Bali : Ketika Ayah 'Tak Hadir' di Kehidupan Anak

Edisi Minggu, 10 September 2023


Ditulis Oleh :

Santy Sastra (@santysastra)

Putu Suprapti Santy Sastra, SH., CHt., CI

Indonesia's Mindset Motivator


SEORANG anak yang tumbuh bersama ibunya tanpa kehadiran ayah baik secara fisik atau psikologis dikenal dengan nama fatherless.

Dibanding single mother atau broken home, fatherless mungkin jarang terdengar. Padahal sebenarnya, fenomena ini cukup besar di Indonesia.

Fatherless diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tapi tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak.

Indonesia sendiri disebut menempati urutan ketiga di dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak.

Anak yang mengalami fatherless rata-rata merasa kurang percaya diri, cenderung menarik diri di kehidupan sosial, rentan terlibat penyalahgunaan obat terlarang, rentan melakukan tindak kriminal dan kekerasan, kondisi kesehatan mental yang bermasalah, munculnya depresi hingga pencapaian nilai akademis yang rendah.

Hal tersebut terjadi karena anak kehilangan sosok ayah sebagai panutan dan pendamping hidup. Adanya kekosongan peran ayah dalam pengasuhan anak, terutama dalam periode emas, yakni usia 7-14 tahun dan 8-15 tahun sangat berpengaruh dalam urusan prestasi sekolah. Dampak fatherless bagi anak-anak yang bersekolah antara lain sulit konsentrasi, motivasi belajar yang rendah, dan rentan terkena drop out.

Untuk menghindari berbagai masalah perkembangan anak, kehadiran ayah sangatlah diperlukan. Tak hanya untuk anak laki-laki, tapi kehadiran ayah juga diperlukan anak perempuan.

Menjadi seorang ayah yang baik bukan berarti harus menjadi superman atau superdad. Cara paling mudah adalah dengan meluangkan waktu, memberikan telinga untuk mendengarkan kisah dari anak-anak, memberikan kehangatan melalui ciuman, pelukan, atau bentuk kasih sayang lainnya, itulah yang diperlukan oleh anak.

Kelaparan akan sosok ayah sendiri mengakibatkan kondisi psikologis anak menjadi tidak matang. Tidak matangnya kondisi psikologis anak menyebabkan anak memiliki self-esteem atau penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Selain itu, anak juga lebih mudah takut dan cemas, tidak merasa aman baik secara psikologis maupun psikis, penyimpangan seksual, gangguan kejiwaan, hingga kenakalan remaja.

Budaya patriarki lah yang bertanggung jawab karena menempatkan laki-laki atas dominansi kehidupan dan membuat mereka lalai, sehingga beranggapan bahwa hanya ibu yang bertugas mengurus anak. Selain itu, pola patrilineal yang kental turut menjadi alasan mengapa peran laki-laki lebih diagungkan, sehingga enggan membantu pekerjaan yang dinilai “remeh” seperti pekerjaan rumah.

Para ayah dapat mewujudkan interaksi dan perannya melalui lima hal, yaitu membantu anak dalam menyelesaikan masalah, menjadi teman bermain bagi anak, dan mengajarkan anak mengenai perilaku apa saja yang bisa diterapkan dalam kehidupan sosial. Selain itu, ayah juga bisa turut membantu dengan menyiapkan segala kebutuhan dan membimbing anak agar siap menghadapi tantangan hidup di masa depan.

Dengan begitu, kondisi fatherless yang dapat merenggut masa depan para anak ini bisa diberantas. Para ayah harus terus merefleksikan kembali perannya sebagai orang tua dan turut andil dalam pengasuhan. Selain demi menjaga pertumbuhan anak tetap seimbang, interaksi ayah secara signifikan pun dapat membantu memperhangat hubungan antara ayah dan anak.