Rubrik Power of Mind Radar Bali : Dampak Anak Sering Dimarahi

1 - DAMPAK SERING DIMARAHI -  Rubrik Power of Mind - Santy Sastra - Radar Bali - Jawa Pos - Santy Sastra Public Speaking


Rubrik Power of Mind Radar Bali : Dampak Anak Sering Dimarahi

Edisi Minggu, 4 Mei 2025


Ditulis Oleh :

Santy Sastra (@santysastra)

Putu Suprapti Santy Sastra, SH., CHt., CI

Indonesia's Mindset Motivator


ANAK yang sering dimarahi bisa mengalami trauma psikis, gangguan mental, dan kesulitan belajar. Dampak ini bisa berlanjut hingga dewasa.

Ketika anak melakukan sebuah kesalahan, sebagian ibu sering kelepasan memarahi anak mereka tanpa sadar. Namun, yang sesungguhnya ada dampak buruk yang bisa terjadi pada Si Kecil jika sering dimarahi

Seiring bertambahnya usia anak, ada saja tingkah lakunya yang bisa menguji kesabaran. Terkadang, wajar bila satu atau dua tingkah membuat emosi seorang ibu  jadi terpancing dan akhirnya memarahi anak, apalagi jika Si Kecil tidak bisa dinasihati dengan baik.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa memarahi, meneriaki, atau mungkin mengumpat anak bukanlah solusi yang tepat. Alih-alih memahami nasihat ibunya, anak justru mengalami trauma psikis yang dapat mengganggu perkembangan mental dan kecerdasannya.

Jika sudah merasa emosi dan ingin marah, sebaiknya seorang ibu berusaha menahan amarah yang hendak keluar,karena banyak dampak buruk yang terjadi akibat sering memarahi anak, di antaranya anak menjadi penakut dan tidak percaya diri

Saat anak melakukan kesalahan, bukan berarti  harus langsung memarahi dan membentaknya, karena  ketika orang tua  marah, Si Kecil mungkin akan diam. Namun, ia diam karena merasa takut dan terancam.

Hal tersebut bisa menyebabkan Si Kecil menjadi pribadi yang penakut. Selain itu, terlalu sering dimarahi juga bisa menurunkan rasa percaya diri lantaran Si Kecil merasa apa yang ia lakukan selalu salah di mata orang tuanya.

Orang tua mungkin berpikir bahwa memarahi anak tidak akan berefek secara fisik seperti memukul. Namun,  penelitian menyatakan bahwa perkembangan otak anak yang sering dimarahi bisa terhambat dan ukurannya menjadi lebih kecil dibanding rata-rata anak seusianya. Jadi, terlalu sering memarahi anak benar-benar bisa berdampak secara fisik.

Bagian otak yang paling terpengaruh adalah bagian yang memproses suara dan bahasa. Hal ini terjadi lantaran otak cenderung lebih mudah memproses informasi dan peristiwa negatif dibandingkan yang positif. Dengan kata lain, bagian otak ini menjadi “tumpul” karena lebih sering mencerna informasi negatif.

Memarahi anak mungkin membuat orang tua merasa didengar atau dihargai. Namun, sebenarnya dengan dimarahi, anak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya atas dasar rasa takut, bukan karena menghargai. Ini bisa dikatakan seperti perilaku bully.

Selain rasa takut, anak juga bisa merasa tidak berharga, sedih, kecewa, dan terluka hatinya. Tentu saja ini berdampak buruk terhadap kesehatan mentalnya. Lama-kelamaan, dampak sering memarahi anak bisa membuatnya mengalami depresi.

Di kemudian hari, anak bisa saja mencari pelampiasan untuk meluapkan emosi negatifnya dengan merusak dirinya sendiri, misalnya menggunakan obat-obatan terlarang.

Ditempa dengan amarah secara terus-menerus bisa menyebabkan anak memiliki masalah mental dan perilaku di kemudian hari, misalnya anak bisa menjadi sosok yang lebih agresif. Selain itu, anak juga berpikir bahwa marah atau memaki adalah respons yang normal saat menghadapi masalah.

Jadi, anak akan meniru hal ini pula, baik pada teman, guru, atau orang di sekitarnya. Bahkan, anak mungkin saja jadi gemar berkelahi atau sering memukul bila sesuatu hal tidak berjalan sesuai keinginannya. Di masa depan, bukan tidak mungkin ia melakukan ini pada pasangan dan anaknya.